Rabu, 04 Agustus 2010

Sanering vs redenominasi

Kisah Gubernur BI Mundur Gara-Gara Sanering

Heri Susanto | Rabu, 4 Agustus 2010, 12:52 WIB

VIVAnews - Wacana redenominasi atau penyederhanaan nilai nominal rupiah telah menjadi polemik beberapa hari ini. Apalagi, wacana tersebut mengingatkan kembali pada pemotongan nilai rupiah atau sanering yang membawa kekacauan pada masa Soekarno.

Meski makna redenominasi berbeda dengan sanering, namun protes sudah bermunculan, baik dari kalangan analis, ekonom dan pengusaha. Mereka menilai wacana itu menimbulkan keresahan masyarakat.

Jika menilik kembali pada masa Presiden Soekarno berkuasa. Kebijakan sanering memang menimbulkan kekacauan gara-gara nilai mata uang diturunkan akibat inflasi sangat tinggi.

Berdasarkan buku sejarah Bank Indonesia, kebijakan sanering dilakukan pada 25 Agustus 1959. Kebijakan itu adalah sebagai berikut:
1. Penurunan nilai uang kertas Rp500 dan Rp1.000 menjadi Rp50 dan Rp100 (Perpu No.2 Tahun 1959, 24 Agustus 1959). Penukaran uang kertas ini harus dilakukan sebelum 1 Januari 1960 (Perpu No. 6 Tahun 1959, 25 Agustus
1959). Sedangkan untuk nilai uang yang hilang akibat pemberlakuan Perpu No. 2 di atas, tidak akan iperhatikan pada perhitungan laba maupun pajak (Perpu No. 5 Tahun 1959, 25 Agustus 1959).

2. Pembekuan sebagian simpanan pada bank-bank (giro dan deposito) sebesar 90% dari jumlah simpanan diatas Rp25.000, dengan ketentuan bahwa simpanan yang dibekukan akan diganti menjadi simpanan jangka panjang oleh Pemerintah (Perpu No.3 Tahun 1959 tanggal 24 Agustus 1959).

Kebijakan sanering ini kemudian membawa beberapa pengaruh di bidang moneter. Di saat masyarakat menderita kerugian gara-gara uangnya turun, sedangkan pemerintah malah untung Rp8.521 juta. Keuntungan pemerintah kemudian digunakan untuk mengurangi ketekoran kas pemerintah.

Dampak lainnya adalah jumlah uang beredar berkurang dan turunnya tingkat likuiditas bank-bank. Akibatnya bank tidak bisa memberikan kredit kepada perusahaan untuk kegiatan ekspor, impor, produksi, dan distribusi. Buntutnya, harga barang dan biaya hidup malah semakin meningkat pada 1959.

Kebijakan sanering yang dilancarkan oleh pemerintah bukannya menghambat laju inflasi, melainkan makin mempertinggi laju inflasi. Hal ini terlihat dari meningkatnya jumlah uang beredar pada 1959 dan 1960 meningkat, yaitu Rp5.518 juta dan Rp12.953 juta jika dibandingkan dengan Rp10.453 juta pada tahun 1958.

Tindakan sanering ini lantas dianggap gagal. Apalagi, dilakukan oleh pemerintah tanpa berkoordinasi dengan BI. "Gara-gara itu Gubernur BI pada waktu itu, Mr. Loekman Hakim, mengajukan pengunduran diri pada presiden Soekarno."

Sumber: Buku Sejarah Bank Indonesia
__________
Kisah Sanering Membawa Kacau di Masa Soekarno

Heri Susanto, Hadi Suprapto | Rabu, 4 Agustus 2010, 12:24 WIB

VIVAnews - Senin siang 24 Agustus 1959. Tepat setelah selesainya rapat Kabinet Kerja I yang dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno dan Menteri Pertama Ir Djuanda Kartawidjaja yang diselenggarakan di Bogor, kekacauan langsung timbul di seluruh kota besar di Indonesia.

Bagaimana tidak, hasil dari rapat tersebut yang diumumkan melalui Radio Republik Indonesia (RRI) oleh Menteri Muda Penerangan Maladi pada pukul 14.30, memutuskan menurunkan jumlah uang beredar dengan cara memotong dua uang kertas yang memiliki nilai pecahan terbesar saat itu, yaitu Rp500 yang bergambar macan dan Rp1000 bergambar gajah. Nilai masing-masing diturunkan hingga tinggal 10 persennya saja.

Macan yang semula mempunyai nilai Rp500 berubah menjadi Rp50 sedangkan gajah yang semula Rp1.000 berubah menjadi Rp100. Dan pemotongan ini tidak terjadi dengan nominal-nominal yang lebih kecil. Sekadar informasi gaji pegawai negeri waktu itu berkisar pada Rp150 - Rp400 per bulan.

Berdasarkan buku sejarah BI, keputusan itu didasarkan pada Undang-Undang (UU) No. 2 Prp. tahun 1959. Isinya, pemerintah melakukan sanering uang pada 25 Agustus 1959 dengan menurunkan nilai uang pecahan Rp500
dan Rp 1.000 menjadi Rp50 dan Rp100. Langkah ini dilakukan untuk menangani laju inflasi yang terus berlangsung hingga awal 1960-an.

Karena peraturan ini baru efektif keesokan harinya, 25 Agustus, jam 6 pagi waktu Jawa, dan informasi tentang hal ini belum tersebar secara merata, maka masyarakat menjadi kacau. Mereka yang mendengar informasi ini berlomba-lomba membelanjakan uang macan dan gajahnya. Bank-bank diserbu untuk menukarkan uang macan dan gajah dengan pecahan yang lebih kecil. Toko sembako, toko emas, toko apa pun yang buka diserbu pembeli.

Pada mulanya para pemilik toko merasa kegirangan barang jualannya laris manis. Tetapi lama kelamaan merekapun sadar, mengapa uang yang mereka terima hanya lembaran macan dan gajah saja. Kemana pecahan lain? Akhirnya setelah mendengar dari teman atau keluarga yang mengetahui peristiwa ini, secara serentak mereka menutup toko-tokonya.

Mendadak pusat perbelanjaan dan pertokoan menjadi sepi. Semua toko tutup dan pemiliknya juga ikut-ikutan membelanjakan uang macan dan gajahnya ke daerah-daerah yang terpencil. Akibatnya penduduk di pedesaan yang kena getahnya. Sapi, kambing, bahkan beras mereka diborong oleh orang kota. Semuanya memakai uang macan dan gajah.

Kepanikan seperti ini terus terjadi sampai saat mulai diberlakukannya peraturan tersebut tepat pukul 6.00. Masyarakat tidak mau memegang uang macan dan gajah. Mereka berlomba-lomba membelanjakan atau menukarkan ke bank. Sewaktu hari masih siang, kurs masih sama. Beberapa jam sesudahnya kurs tinggal 50 persen, dan terus merosot menjadi 30 dan 20 persen. Akhirnya tepat pukul 6.00, 25 Agustus 1959, kurs tinggal 10 persen.

Itu merupakan kisah sanering tahap pertama yang dilakukan pada pemerintahan Soekarno. Pada 13 Desember 1965, Soekarno juga melakukan kebijakan yang sama, menyunat tiga nol di belakang angka rupiah.

Langkah ini dipicu adanya kebutuhan anggaran pemerintah untuk proyek-proyek politik semakin meningkat akibat isu konfrontasi yang terus dilakukan dengan Belanda dan Malaysia. Hal ini juga disebabkan oleh besarnya pengeluran pemerintah untuk membiayai proyek-proyek mercusuar, seperti Games of the New Emerging Forces (Ganefo) dan Conference of the Emerging Forces (Conefo).

Kebijakan ini justru meningkatkan beban pemerintah, jumlah uang beredar, dan inflasi. Defisit anggaran justru semakin meningkat. Pada 1961, pemerintah mengalami defisit anggaran hingga 29,7 persen, lalu 38,7 persen (1962), 50,8 persen (1963), 58,4 persen (1964), dan 63,4 persen (1965).

REDENOMINASI BUKAN SANERING

Kali ini Bank Indonesia akan melakukan redenominasi atau penyederhanaan nilai nominal rupiah. Ini bukanlah sanering seperti yang dilakukan di masa Soekarno. Melalui redenominasi, rencananya tiga angka nol akan dihapus. Jadi, Rp1000 akan menjadi Rp1 dan Rp100 ribu akan menjadi Rp100.

Bila aral tak melintang, tahun depan BI telah mulai melakukan sosialisasi, hingga 2013 saat masa transisi dimulai. Pada masa ini harga barang akan ditulis dalam dua harga yaitu terdiri atas rupiah lama dan rupiah baru. Tahapan ini berlaku hingga 2016. Setelah itu BI langsung menarik uang lama dan sepenuhnya menggunakan uang baru.

Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution menyatakan, BI hanya akan melakukan redenominasi atau penyederhanaan nilai mata uang. Bukan sanering.

"Redenominasi ini terminologi yang tidak terlalu mudah buat lidah kita, tetapi pengertiannya bukan sanering atau pemotongan nilai uang," ujar Darmin di Jakarta, Selasa, 3 Agustus 2010.

Jika diartikan secara sederhana, kata dia, redenominasi berarti penyederhanaan penyebutan satuan harga maupun nilai mata uang. Maksudnya, pecahan mata uang disederhanakan tanpa mengurangi nilai dari uang. Nilai mata uang tetap sama meski angka nolnya berkurang. Misalnya, Rp1000 menjadi Rp1, sedangkan Rp1 juta menjadi Rp1000.

Darmin memberikan contoh dengan mata uang lama, membeli barang dengan harga Rp300 ribu sama dengan Rp300 dengan mata uang baru. Jumlah barang yang diperoleh juga sama. Begitupun dengan gaji Rp5 juta dengan uang lama sama dengan Rp5.000 dalam uang baru.

BI mengingatkan nilai pecahan mata uang Indonesia sebesar Rp100 ribu merupakan angka terbesar kedua di dunia. Pecahan mata uang Indonesia itu hanya kalah dari dong Vietnam yang memiliki pecahan 500 ribu. Namun, jika Zimbabwe dimasukkan, maka pecahan Indonesia berada di urutan ketiga terbesar di dunia.

Sumber: Bank Indonesia, Uang-kuno.com
_________
Tempered glass - Gadget store 0811642628

Posted via email from cienhua's posterous

Tidak ada komentar:

Posting Komentar